Tuhan Rokokku?
Apakah engkau pernah siggah di rokokku ini, aku pernah berjumpa dengan-Mu dalam makna rokok ini semua, mungkin itu hanya intuisi ku atau Aku bilang ini adalah alasanku untuk merokok lebih nikmat lagi, Aku tidak tahu Tuhan, apakah selama ini yang Aku maksudkan atas semua hobiku ini menjadikanku tenggelam dalam kegilaan cintaku terhadap-Mu, tapi inikah yang dinamakan cinta?
Oh tak mungkin diriku merasakan cinta kepada-Mu, karena semua cinta butuh dengan pengorbanan, begitu kata para pemabuk cinta. Bolehkah aku memaknaimu bahwa engkau berwujud dalam rokokku ini, oh mungkin sifat-Mu Tuhan yang telah ada dalam kesejatian rokokku ini.
Aku tak mungkin menghisap ini tanpa ada campur tangan dari-Mu, oh Tuhan. Aku ingat, sangat ingat saat aku membeli rokok aku sama sekali tak memaksa kepada sipendagang untuk meminta dengan asapnya apalagi dengan sekarnya, aku tak meminta Tuhan. Tapi kenapa Engkau hadirkan asap dan sekar itu dalam rokok tatkala aku membakarnya dengan sedikit fatamorgana api yang kunyalakan. Hadirlah keduanya itu tatkala aku mengundang dengan ujung api yang tak kelihatan panasnya. Lalu aku menghisapnya dengan kenikmatan tubuh, aku sebarkan semua asap itu keseluruh pikiranku yang sedang risau, saat aku hembuskan nafasku melewati mulutku, keluarlah asap itu. Ternyata masiih ada asap yang tersisa dalam mulutku itu, terbanglah sudah asap itu kemana ia ingin mengikuti angin dan jalan yang ia tuju, aku perhatikan dengan sabar tarian-tarian asap itu, tetapi aku tidak tau kemana tujuan akhir dari pada asap itu. Kenapa asap itu hanya beberapa detik saja bisa hilang dengan menghilangkan jejaknya? Kemana Tuhan dia bakal pergi? Engkau maha tahu, Tuhan? Pasti Engkau mengetahuinya kemana tujuan mereka.
Oh Tuhan rasanya aku ingin menyaksikan kembali dan merasakan asap rokok yang aku hisap itu, ku ulang secara terus menerus. Tapi, Tuhan , Engkau tak juga menunjukan dan memberi tahuku kemana dia pergi, kemana tujuan mereka? Mereka hanya meninggalkan sekar dan kuntung rokok yang tersisa dalam asbak. Aku tak memaksa agar rokok itu keluar asap, aku tak memaksa rokok itu harus aku sisakan, dan aku tak memaksa sekar itu hadir dan menemani rokok yang tersisa(puntung). Kenapa Tuhan dia begitu sabar ketika aku membakarnya dengan api, padahal api itu panas? Walaupun dia terbakar tubuhnya, tapi ia rela di bakar oleh api itu. Tetapi, dengan kesabarannya dia menemukan kesejatian dirinya dalam sisa-sisa kesempatannya yakni dia berubah menjadi puntung. Setelah ia dapat merubah dirinya dia selamanya nyaman dan bahagia menjadi puntung, walaupun dia tidak bernilai dihadapan teman-temannya malahan tuannya hanya membiarkan saja. Dia woles-woles saja menghadapi hidup ini. Seakan dia adalah seorang yang maqbul tak masyhur.
Mungkin itu semua maksud Engkau , Tuhan. Engkau masuk kedalam rokok itu, lalu menjadi umpan otakku untuk memikirkannya.
Aku tak bisa menemuka diriku hari ini!
Begitu pentingnnya kehidupan bagi silumut yang hidup dengan apa adanya, dimana dia ada kesempatan dia selalu berlari dan berusaha hidup walaupun disela-sela yang tak mungkin dia hidup, tetapi dia selalu bersuha memanfaatkan dirinya untuk selalu hidup dengan damai, di tembokkah, digentengkah, atau dimana saja dia hidup, baik tidaknya tempat itu, terlihat atau tidaknya oleh makhluk lain dia tidak mempedulikan hidupnya. Dimana ada kesempatan ia hidup, hiduplah ia.
Tuhan, maafkanlah aku, karena hari ini aku tak menemukan diriku sediri, bagaimana diriku bisa menarik hikmah dari sebuah kehidupan tumbuhan lumut. Diriku hidup dengan kehidupan yang sebagaimana aku merasakan bagaikan teh manis yang manis dalam merasakan hidup ini, tatkala orang lain meminumnya tak menyisakan setetespun dalam hidup ini, tak ada artinya bagiku hidup ini. Aku yakin ini semua adalah kelalaianku dalam menyikapi hidupku ini.
Aku belum mengerti dengan kehidupanku hari ini, kemana diriku itu pergi? Kapan dia akan datang menyapaku dengan kebahagiaan yang hakiki? Aku masih kalah dengan silumut, aku masih kalah dengan rokokku, dan aku masih kalah dengan dunia disekitarku. Kemanakah makna dari surat al-baqarah ayat 30 itu”... sebagai khlaifah itu” sedangkan aku selalu menempatkan diriku sebagai budak dari alam ini.
Tuhan, maafkanlah aku yang lemah ini. Aku tak bisa menjadi manusia yang bermanfaat bagi diriku dan diluar diriku.
Tuhan, maafkanlah aku, karena aku belum bisa memaafkan diriku dan diluar diriku.
Sepertinya aku harus mengaplikasikan apa yang telah ditulis oleh guruku yakni Dr. Bambang Q-Anees dengan bukunya Maulana, atau lebih dikenal dengan Kitab Maulana, didalam bukunya dengan memaknai dari menyarankan untuk melihat, membaca, dan mendengarkan lalu menghubungkan dari ketiga itu.
Aku harus menulis Tuhan?
Aku takut akan sebuah tulisanku yang hanya bisa membuat lebih menderita kehidupanku.
